24 Februari 2009

Rumah Koran

duh kok jadi gini yah keweh gati pinjem ruangan untuk pameran padahal kita bayar spp ya? tentunya dengan itu kita harus bekerja keras menyulap ruang HMJ kita jadi Rumah Koran biar keren hari ini tangal 24 pebruari 2009 pkul 02.07AM waktu laptop Ost'9
sekarang terjadi proses penyulapan ruang HMJ dari daki(kotor) menjadi Rumah koran yang very unik (unique) desainer by Atenk, pendukung Ost'9, seponsor dangang Koran bekas,
nah maslah korang bekas ne ada cerita unik lagi ne mau tau gak ???/
gini lo
waktu aku mau bli koran ama atenk, udah keliling singraja ne dari aku yang gak tau apa yng ada didlam pasar jadi tau gara-gara atenk ngajak masuk to pasar bau kali tau, hehe trus abis giitu kita nyaeri korang ketoko-toko buku yng lumayan elite dah dikota ne
tapi gak dapat juga. nanya ma tukan distribusi koran eh maalah dikasi lamat salah pasrah dueh kita, trus pas ketemu temen gua namanya kingkong juga yang lagi ama pacarnya, tapi ne kingkong bukan kingkong ank matriks tapi kingkong anak info dah wisuda si, sekedar info gue kenal kingkong ne di KMHD, anknya montok pacarnya jegeg dan uudah pacaran selama 12 tahun dari SMP pek karng bayngin to lama gak to pek Eror dah kau bayngin to heheh inget epsilonya jangan terlalu besar biar makin teliti heheh
eh kok jadi bhas kingkong sie kan serem hehe nah kembali ke crita rumah koran
nah setelah ketemu kingkong infor,matika.. kita dikasi alamat dagang koran bekas eh ternyata kita diserempet pas dalm perjalan menuju lokasi koran berkas, sete;ah diserempet oleh tukang loak barang bekas barng apa aja ada dikantongnya dari kardus pek cewek bekas pun ada disana tau tapi aku ndri gak tau heheh
nah akhirnya kita kejer to orng dengan makian " keleng bangsat cai cicing nani" kasar dah intinya tapi tetap dengan cirikas kita ( baca:atenk dan Ost) tertawa riang gembira everywhere n everytime heheh
nah abis gitu kayak di film-film dah kita memoting jaln to orng deng suprA x yng kotor x..heheh
Supra X hitam to milik atenk yaw, yng kotor to apa tau kan hehe, trues kita mau berkta, tapi sebelum gue berkata to tukang serempet(tuser) berkata "
tuser :" ampun bli, saya gak sengaja, ampun, ampun"
kita: " oh gak apa (sambil tertawa)
Kita: " cuma mau tanya jual koran bekas dimana ya"
tuser:' oh disi ada kok ". sambil menunjuk markas dia yang sangat rapi dengan barang bekasnya, tapi gue kok gak liat cewk bekas ya hehehe

trus sudah dapt barang buruan berupa koran bekas kita pun meluncur ke HMJ terita dengan penuh tawa dan tai....hahaha
itu sekilah kisah kita di Rumah Koran disaat kalian tertidur entah dengan apa dan dengan siapa dan dengan cara apa ato lagi blajar, kita disini masih buka mata buka tlinga dan buka seglanya tapi tidak buka baju kerna sangat dingin, dan juga kita buka informasi iklan dari berbagai koran bekas hehehhehe udah dudlu ya gue mau bantu temen gue dulu kasian dia tiap jam tiga sakit basang mau gitu toooo heheh

17 Februari 2009

This is a note from ma lecturer...


Look at the picture, n just look at their condition………no place to sleep, but still they have made some space for the cat n the dog. Water pouring from the roof, but still each one a peacefull smile on their peace. Simply amazing !!!
Note :
The happiest people in the world are not those who have no problems, but those who learn to live with things that are less than perfect. Keep smiling always !!!
Met Valentine…

12 Februari 2009

Touching Story

woi teman pada lagi ngapain nie...???????
pastinya lagi nontn fotsal ya? sory tmand aq gak ikut,, alnya aq lagi nyari sesuatu,, hehe (sibuk ceritanya dikit)
oya waktu nie aq pet dikasi sesuatu am orang yang berharga dlm hdupku,trus aq pengen bagi2 ama kalian soalnya menurut aq nie bagus bwt kalian baca... hhehe
n kalian yang tadinya gak suka baca cerita, aq yakin ini pasti bwt kalian ketagihan n bercucuran air mata,, hikz...
tapi sebelumnya maaf ya,, alnya aku ngebek2in hal posting aja hehe

Touching Story
Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku. Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan diriku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya.
"Siapa yang mencuri uang itu?" Beliau bertanya.
Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan, "Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!"

Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi.

Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, "Ayah, aku yang melakukannya!"

Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas. Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, "Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? ... Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!"

Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun.

Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, "Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi."

Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku.

Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.

Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus. Saya mendengarnya merengut, "Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik...hasil yang begitu baik..."

Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, "Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?"

Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, "Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak buku."

Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya.

"Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan, saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!"

Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata, "Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini."

Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas. Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku:

"Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang."

Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20.

Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga (di universitas).

Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, "Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana!"

Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku?

Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, "Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?"

Dia menjawab, tersenyum, "Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?"

Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, "Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu..."

Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, "Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu."

Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.

Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku.

"Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!"

Tetapi katanya, sambil tersenyum, "Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu.."

Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan membalut lukanya.

"Apakah itu sakit?" Aku menanyakannya.

"Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan..."

Di tengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku. Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.

Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Berkali-kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, "Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini."

Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi.

Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit.

Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu, "Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?"

Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya. "Pikirkan kakak ipar--ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan menjadi buah bibir orang?"

Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah: "Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!"

"Mengapa membicarakan masa lalu?"

Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.

Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, "Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?"

Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, "Kakakku."

Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat.

"Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, saya kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya."

Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku.

Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, "Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih kepadanya adalah adikku."

Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.


gemana teman? nget ambil hikmah dari ceritanya ya,,,

09 Februari 2009

wei temand...dja kalyan????

temand...
ko KHS nya ga keluar-keluar ya??
dah dag dig dug niey mau ketemu bu maha..
btw..gimana niey liburannya??
ko blok kita sepi seh?
yang masih di kampung nget balik ke singaraja bawa oleh2 yach...
we tunggu kedatangan kalyan.

bagi yang mw ilang ingatan, we saranin jangan dulu dech..hehe..
indahnya persahabatan kita masih patut dikenang.
ya ga coy??
haha...
take easy n keep laughing hahahaha....!!!
luv u blok-M
mmuaach...